Powered By Blogger

Monday, October 31, 2011

Sekilas tentang Syaikh Agung Muhyidin Ibn Arabi (semoga Allah meridhainya)


Nasab, Kelahiran, dan Perjalanannya

Beliau adalah Muhammad bin Ali Abdullah Al-Hatimiy Al-Tha’i, yang mendapat sebutan Abu Bakar dan digelari Muhyi Al-Din Ibn ’Arabi (”Putra Arab Sang Penghidup Agama,” selanjutnya, dalam terjemahan ini, lbn Arabi).

Beliau (semoga Allah meridhainya) dilahirkan pada hari Senin, malam 17 Ramadhan, tahun 520H di Marsiyyah, Andalusia. Pada usia 8 tahun beliau pindah ke Seville (sekarang wilayah Spanyol) bersama dengan orang tuanya, seraya belajar hadis dan fiqih kapada para guru di negerinya.

Pengembaraannya di kota-kota Andalusia dan negeri Maghrib mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk karakter tasawuf beliau kelak, ketika beliau menjadi syaikh dari para syaikh (syaikh al-masyayikh) dan pemuka para imam lslam. Syaikh Ibn Arabi sangat mendalami jalan sufi dan tak saorang pun yang blsa menandinginya sehingga beliau pantas menjadi teladan yang mencerminkan akhlak-etika perkataan dan perbuatan para sufi.

Sunday, October 30, 2011

sepenggal tentang ''JALALUDDIN RUMI''


Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang

tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Rumi adalah

guru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah thariqat

yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah

sekitarnya. Thariqat Maulawiah pernah berpengaruh

besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan

kalangan seniman sekitar tahun l648.



Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan

akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Di

zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit

itu. Bagi mereka kebenaran baru dianggap benar bila

mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu

yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengan

cepat mereka ingkari dan tidak diakui.

Friday, October 28, 2011

Abu Nawas Menipu Tuhan


Abu Nawas sebenarnya adalah seorang ulama yang alim. Tak begitu mengherankan jika Abu Nawas mempunyai murid yang tidak sedikit.
Di antara sekian banyak muridnya, ada satu orang yang hampir selalu menanyakan mengapa Abu Nawas mengatakan begini dan begitu. Suatu ketika ada tiga orang tamu bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang sama.

Orang pertama mulai bertanya, "Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?" kata orang pertama.
"Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan." kata Abu Nawas.
Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu.

Monday, October 24, 2011

Masuklah Pada-Ku Seorang Diri

kitab ‘Al-Mawaqif wal Mukhtabat’
Imam An-Nifari


Allah berseru pada hamba-Nya,

“Hendaklah engkau bekerja tanpa melihat pekerjaan itu!

Hendaklah engkau bersedekah tanpa memandang sedekah itu!

Engkau melihat kepada amal perbuatanmu, walau baik sekalipun, tak layak bagi-Ku untuk memandangnya. Maka janganlah engkau masuk kepada-Ku besertanya!

Sesungguhnya, jika engkau mendatangi-Ku berbekal amal perbuatanmu, maka akan Aku sambut dengan penagihan dan perhitungan. Jika engkau mendatangi-Ku berbekal ilmu, maka akan Aku sambut dengan tuntutan! Dan jika engkau mendatangi-Ku dengan ma’rifat, maka sambutan-Ku adalah hujjah, padahal hujjah-Ku pastilah tak terkalahkan.

Monday, October 17, 2011

Kegaiban Hari Esok

'' Orang yang beruntung adalah orang yang bisa menjadikan keghaiban hari esok sebagai hidangan bagi hatinya''.


KETIKA Nabi Musa as diperintahkan Allah swt untuk membawa bani Israil ke tepi laut apakah ia sudah mengetahui bahwa Allah swt akan membukakan laut bagi mereka ? Tidak sama sekali. Ia hanya meyakini bahwa di tempat itu Allah swt akan menurunkan pertolongannya, tanpa diketahui apa bentuknya.

Musa a.s. dan umatnya, dalam tekanan kebingungan yang hebat, terjebak diantara laut dan kepulan debu gurun yang dihamburkan ke angkasa oleh ribuan kereta perang Fir’aun Merneptah. Cacian-cacian kepada sang Nabi mulai berhamburan dari lisan-lisan umatnya sendiri, karena Musa, nabi mereka, malah mengarahkan mereka terkepung dan terdesak ke laut Merah.

Sunday, October 2, 2011

Pertemuan Ibn Athaillah Al Sakandari dengan Ibn Taymiyah

Bismillahi ar rahmani ar rahiim

Abu Fadl Ibn Athaillah Al Sakandari (wafat 709), salah seorang imam
sufi terkemuka yang juga dikenal sebagai seorang muhaddits,
muballigh sekaligus ahli fiqih Maliki, adalah penulsi karya-karya
berikut: Al Hikam, Miftah ul Falah, Al Qasdul al Mujarrad fi
Makrifat al ism al-Mufrad, Taj al-Arus al-Hawi li tadhhib al-nufus,
Unwan al-Taufiq fi al Adad al-Thariq, sebuah biografi: Al-Lataif fi
manaqib Abi al Abbas al Mursi wa sayykhihi Abi al Hasan, dan lain-
lain. Beliau adalah murid Abu al Abbas Al-Musrsi (wafat 686) dan
generasi penerus kedua dari pendiri tarekat Sadziliyah: Imam Abu Al
Hasan Al Sadzili.

Ibn Athaillah adalah salah seorang yang membantah Ibn Taymiyah atas
serangannya yang berlebihan terhadap kaum sufi yang tidak sefaham
dengannya. Ibn Athaillah tak pernah menyebut Ibn Taymiyah dalam
setiap karyanya, namun jelaslah bahwa yang disinggungnya adalah Ibn
Taymiyah saat ia mengatakan dalam Lataif: sebagai “cendekiawan ilmu
lahiriyah”.