Di tahun-tahun terakhir hidupnya, Arthur Schopenhauer, filsuf yang menjadi inspirator Nietzsche, sering makan malam di sebuah hotel di Frankfurt yang sering dipenuhi tentara Inggris. Setiap sebelum makan, dia akan menaruh sekeping koin emas di meja, dan selesai makan, dia akan mengambil dan memasukan koin itu ke saku. Kebiasaan aneh tersebut menggelitik seorang pelayan untuk menanyakannya. Schopenhauer menjelaskan bahwa dia membuat sedikit taruhan dengan dirinya sendiri: bila tentara-tentara Inggris tersebut berbicara apa pun selain kuda, anjing, dan perempuan, maka Schopenhauer akan memasukkan koin tersebut ke kotak amal.
BEGITULAH dunia keseharian manusia. Inilah yang merangsang Martin Heidegger sehingga memikirkan ihwal proses kejatuhan manusia secara eksistensial: terperangkapnya manusia ke dalam dunia umum atau dunia keseharian yang bersifat common-sense.
Dalam dunia kesehariannya, manusia dikelilingi dengan gunjingan. Gunjingan yang dimaksud bukan semata terbatas pada gosip yang mengumbar aib orang lain. Gunjingan di sini adalah berbagai perbincangan yang tidak substantif, tak mendasar, banal, minim refleksi, tak memiliki daya untuk merangsang membangun ruang penghayatan dan pengayaan diri sendiri, serta mengondisikan manusia dalam rantai rasa ingin tahu yang tak pernah berhenti terhadap berbagai fenomena yang dangkal.
Gunjingan Sosial dan Agama
Pergunjingan merupakan bagian dari kehidupan sosial manusia. Dalam kesehariannya manusia saling berbicara tentang berbagai hal ringan, sekadar berbasa-basi dan bertukar canda. Hal itu memiliki dampak positif sangat besar bagi kehangatan dan keakraban dalam interaksi personal dan sosial manusia. Namun, segala sesuatu yang berlebihan pasti akan menjadi eksesif dan berdampak negatif, termasuk kesemua bentuk percakapan di atas.
Salah satu percakapan eksesif adalah bergunjing dalam pengertian membuka dan menyebarkan aib orang lain. Meski lelaki pun suka bergunjing, namun perempuanlah yang paling sering diidentikan dengan pergunjingan seperti ini. Dalam pergunjingan jenis ini, tersirat hasrat dan kepuasan ketika bisa menelanjangi aib kehidupan orang lain, termasuk menikmati kehancuran orang lain dalam interaksi sosial. Umumnya agama mengutuk tabiat bergunjing ini. Di masa ini, kita kadang menyebutnya dengan ‘pembunuhan karakter’.
Dalam khazanah Islam, Imam Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat, pernah berkata,
“Lidah itu laksana seekor binatang buas, bila dilepaskan pasti membunuh.”
Rasulullah saw pernah menyatakan bahwa mukmin yang bergunjing itu seperti memakan daging saudaranya sendiri. Dalam kata-kata manusia sekapasitas beliau, ini bukanlah semata sebuah ibarat. Pernah diriwayatkan, telah sampai kepada Rasulullah saw kabar seorang perempuan yang bergunjing. Beliau memanggil perempuan itu dan memerintahkannya memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Maka tunduklah segenap mikrokosmos dalam diri si perempuan pada perintah Rasulullah, sehingga keluarlah segumpal daging mentah dari tenggorokannya.
Pada kalangan sufi, hal ini semakin dipertegas dengan penjelasan bahwa segala sesuatu yang dialami manusia sejak dari mauthin barzakh (atau awam menyebutnya sebagai alam kubur) hingga mauthin-mauthin berikutnya, sesungguhnya hanya merupakan manifestasi kongkrit berbagai hal yang, ketika di mauthin dunia, hanya dianggap sebagai konsep atau perkara abstrak belaka. Misalnya, Al-Quran yang sering dibaca seseorang mewujud menjadi lelaki tampan yang mengawalnya, atau berbagai sifat dan amal buruk seseorang mewujud menjadi sosok mengerikan yang memangsanya, dan demikian seterusnya.
Bahkan Rasullulah saw pernah menjelaskan kepada Mu’adz bin Jabal maksud QS An-Nâzi’ât [79] : 1-2, yaitu tentang penggambaran bahwa di mauthin akhirat, kelak azab neraka bagi seorang penggunjing adalah dicabik-cabik oleh anjing-anjing Jahanam. Cara dicabik-cabiknya, entah secara kasar atau pelan, bergantung kepada cara bergunjingnya: apakah secara vulgar atau halus berupa sindiran. Sedikit banyak, paparan bahwa isyarat-isyarat seperti ini bukanlah semata kiasan memang terasa asing bagi yang sudah terlalu terbiasa berpikir dengan logika abstrak modern beserta pandangan realitas non-hierarkisnya.
Di komunitas keagamaan, gunjingan biasanya terjadi dengan didahului apologi untuk (bergaya) mengambil hikmah. Namun, seringkali batasnya menjadi samar dan berekses sama: membunuh karakter. Karenanya, dengan tajam sekaligus akurat, Imam Ali bin Abi Thalib menandaskan,
“Pergunjingan adalah puncak kemampuan orang yang lemah.” (Ali bin Abi Thalib r.a.)
Salah satu penyebab suburnya pergunjingan jenis ini dalam interaksi sosial adalah ekses dari pikiran menganggur yang tak mendapat “makanan” atau ”pekerjaan” yang tepat. Misalnya, ibu rumah tangga yang kesehariannya memang disibukan dengan urusan pekerjaan rumah. Namun sayangnya, seringkali yang letih hanyalah fisiknya; sementara pikirannya belum cukup terpenuhi hak kerjanya. Akibatnya, interaksi antar perempuan sering mengondisikan mereka untuk saling menjejali “makanan” maupun ”pekerjaan pikiran” berupa gunjingan remeh-temeh dan aib orang lain, akibat dari kelebihan energi pikirannya hari itu yang belum habis dipakai untuk bekerja (baca: beramal).
Agama, dalam hal memenuhi hak pikiran, umumnya menyarankan manusia untuk berefleksi ihwal dirinya sendiri: rahasia besar misi hidup personal yang diamanahkan Tuhan; maupun juga ihwal kehidupan, alam semesta dan sebagainya, yang —tentu saja— tidak melulu harus dipikirkan melalui metode filsafat atau teori ilmiah.
Gunjingan Media
Abad-abad terakhir ini muncul sesuatu yang disebut oleh Walter J. Ong sebagai kelisanan sekunder melalui media elektronik seperti telepon (genggam), radio, televisi dan internet. Pada masa dominasi media cetak berlaku slogan “man make news”, namun pada masa dominasi media audio visual seperti saat ini yang berlaku adalah slogan “image make news”. Pergunjingan pun menjadi lebih canggih melalui pengolahan citra, yaitu sesuatu yang tampak oleh indera, akan tetapi tidak memiliki eksistensi substansial.
Citra ini juga terkait erat dengan hasrat untuk menjadi populer. Meski hasrat seperti ini sudah ada sejak awal keberadaan manusia, kini hasrat tersebut difasilitasi media, misalnya melalui reality show “pencari bakat”. Para mahasiswa, misalnya, tidak lagi berkumpul untuk berdiskusi atau berjuang membela masyarakat kecil, tapi berbaris panjang untuk mengikuti audisi. Bahkan orang dari desa terpencil pun bersedia mengorbankan apa saja untuk mengikuti audisi tersebut (bahkan hingga terlilit hutang kepada lintah darat).
Menjadi ’populer’ diilusikan sebagai jalan keluar dari kemiskinan, atau mencapai kesuksesan dengan cepat. Maka televisi pun diramaikan oleh acara semacam itu. Namun ironisnya, seringkali hasil akhirnya tidak sesuai dengan tema awalnya. Misalnya, pemenang reality show menyanyi bukanlah orang yang bersuara paling bagus, tetapi yang kisah hidupnya paling memilukan penonton. Hal ini merupakan indikasi terlalu mudahnya penonton untuk larut dalam pergunjingan, baik ke dalam dirinya sendiri maupun ke luar dirinya, mengenai hal-hal yang di luar konteks kemampuan menyanyi para kontestannya.
Bukan hanya itu. Kini, cukup dengan berpacaran dengan pesohor atau tampil sekali dua kali di sebuah sinetron, bisa dianggap sebagai selebritis. Penisbatan selebritis inilah yang menjadi modal citra untuk menjadikan diri sebagai objek incaran para juru tulis gosip (sebutan ‘wartawan’ gosip, menurut saya, agak berlebihan), yang pada akhirnya bisa meningkatkan popularitas dirinya sendiri. Para juru tulis itu bertindak dengan mengatasnamakan masyarakat yang disebutnya ’berhak tahu’. Dalam kacamata sosial, tentu saja tampak jelas bahwa yang dimaksud para juru tulis itu dengan ’masyarakat berhak tahu’ sebenarnya berarti ’masyarakat berhasrat menggunjingkan’.
Meski dilematis, para selebritis membutuhkan para juru tulis gosip untuk melanggengkan populeritasnya. Namun konsekuensinya, kehidupan pribadi mereka menjadi seperti berada di bawah mikroskop media. Maka, hampir sepertiga acara televisi kita dipenuhi oleh infotainmen. MUI pun angkat bicara, mengeluarkan fatwa mengharamkan infotainmen. Namun, di tengah hiruk pikuk industri media, fatwa tersebut hanyalah jeritan sunyi yang segera terlupakan.
Selain itu, kini televisi lokal diramaikan pula oleh acara bergunjing lainnya, yaitu talk show. Ada baiknya kita perhatikan dulu acara Oprah Show. Kebanyakan panelis yang dihadirkan adalah orang-orang biasa yang mempunyai sisi menarik dalam kehidupannya. Perhatikan bagaimana orang-orang biasa itu menjawab pertanyaan Oprah dengan cukup reflektif. Oprah, misalnya, pernah menghadirkan Richard Gere dan Susan Sarandon. Oprah memperlihatkan kepada keduanya foto mereka sewaktu muda dan bertanya apa pendapat mereka tentang orang dalam foto tersebut. Keduanya menjawab dengan sebuah refleksi yang nyaris sejenis: orang yang ada di foto itu keras kepala, tidak mau menerima saran siapa pun,egois. Saya sering membayangkan jika itu dilakukan pada selebritis kita. Sangat mungkin reaksi yang tereksitasi akan berupa teriakan histeris malu, untuk kemudian berujar tentang hal-hal yang tidak esensial dari stimulus berupa fotonya itu.
Setidaknya, pengungkapan yang sederhana namun reflektif dari para panelis itulah yang membedakan kualitas talk show di masyarakat Barat dengan Indonesia. Maklum, bagaimana pun tradisi literasi di kalangan masyarakat Barat jauh lebih kuat, sehingga para panelis tersebut lebih bisa mengambil jarak dari pengalamannya sendiri untuk berefleksi. Sementara Indonesia cenderung bertradisi lisan, sehingga kualitas talk show-nya pun lebih menyerupai pergunjingan yang terlalu banyak diimbuhi lelucon berlebihan. Hal itu disebabkan, salah satunya, ketidakmampuan para panelisnya untuk mengambil jarak dari pengalamannya, antara lain karena minimnya tradisi literasi di keseharian masyarakat kita.
Gunjingan Politik
Heidegger menegaskan bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa bertanya tentang ’ada’: kenapa saya ada di sini, siapa saya, dari mana saya, mau ke mana, dan berbagai pertanyaan eksistensial lainnya. Keadaan “terjatuh” itu disebut Heidegger sebagai faktisitas.
Terkait dengan perenungan akan ’ada’ tersebut, Yasraf Amir Piliang menganalisis tentang berubahnya ’ada yang autentik’ menjadi ’ada sebagai citra’. Orang mengalami ilusi eksis dan autentik ketika tampil sebagai citra, yaitu ada di dalam televisi, tabloid, internet, dan sebagainya, yang notabene hanya hadir sebagai citra yang tidak autentik.
Terkait citra, Yasraf mengamati bahwa persilangan antara politik, media, dunia hiburan, sosial, dan ekonomi menciptakan semacam kategori ontologi politik berupa ’ada hibrid’. ’Ada politik’ kini menjadi bagian tak terpisahkan dari ’ada sebagai citra’. Kini, apa beda antara berita politik dengan gosip infotainmen? Perhatikan bagaimana belakangan ini semakin marak terjadi objek gosip yang juga menjadi objek berita politik.
Selebritis terjun ke dunia politik bukanlah perkara baru di dunia. Namun di Indonesia, tampaknya pertimbangan modal citra yang dimiliki seorang selebritis —meski tak punya pengalaman politik sama sekali— lebih dominan ketimbang pertimbangan kemampuannya untuk memimpin. Maka, ketika diwawancara tentang apa yang akan dilakukannya seandainya terpilih nanti, ucapan yang meluncur pun lebih menyerupai pergunjingan klise yang tidak memperlihatkan adanya visi autentik untuk dijalankan semasa kepemimpinannya nanti.
Ke-’gombal’-an politis seperti ini tak berbeda dengan pergunjingan yang seringkali diusung oleh para politikus non-selebritis melalui janji-janji politik ketika kampanye. Yasraf menunjukkan adanya semacam dinding pemantul atau reflektor, sehingga yang tampil di dunia realitas adalah citra murni (berbagai kemasan ide, gagasan, keyakinan, proyeksi dan janji-janji), akan tetapi semuanya tidak pernah menembus dunia realitas, dalam pengertian tidak pernah diinternalisasikan ke dalam berbagai tindakan nyata. Setiap kali citra dan tanda itu akan memasuki dunia realitas, ia selalu berbalik arah dan memantul kembali ke dalam jagat simbiosis ideologi-citra, tidak pernah menjadi realitas nyata.
Bukan hanya itu, Yasraf pun menguraikan bahwa: “Perangkap citra tidak saja melupakan insan politik terhadap perenungan eksistensial, tetapi citra itu sendiri menipu mereka seakan-akan citra itu sendiri adalah eksistensi. Dengan terbenamnya aktor-aktor politik dan dunia politik mereka ke dalam dunia citra, tidak saja gerbang menuju permenungan eksistensi tertutup rapat, akan tetapi lebih jauh lagi ontologi citra itu menawarkan perenungan palsu. Misalnya, ada (tokoh, aktor, institusi) politik di dalam televisi adalah ada dalam bentuk citra (ontology of image), akan tetapi ia dianggap sebagai bentuk keberadaan. Di dalam virtualitas dunia citra, obrolan banal politik (di dalam berbagai media virtual) membenamkan manusia dalam keseharian, yang di dalamnya obrolan banal yang diperantarai oleh media (elektronik, digital) menjadikan berbagai kepalsuan dan kesemuan menjadi bagian inheren dunia politik. Dunia politik yang jatuh dalam perangkap banalitas kesehariannya (misalnya obrolan banal politik di dalam televisi), menjauhkan politik dari alam perenungan ontologis yang mendalam.”
Gunjingan Ilmiah
Diakui atau tidak, sebagian besar akademisi Indonesia juga masih terjebak dalam atmosfir tradisi lisan. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tradisi sabbathical, atau cuti mengajar untuk menulis karya ilmiah. Padahal, jantung kehidupan dunia ilmiah di zaman ini adalah tulisan, bukan ucapan (yang tidak dipahat menjadi bentuk tertulis). Runyamnya lagi, dengan berbagai alasan penghidupan, banyak para akademisi yang menjadi lebih antusias untuk mengerjakan proyek ketimbang bergiat menghidupkan kegiatan ilmiah. Bahkan, kegiatan penelitian pun sudah berubah menjadi peluang untuk bisa mendapat dana untuk membeli mobil baru, bukan pengetahuan baru. Gelar formal akademis lebih sering menjadi kebanggaan ketimbang kualitas keilmuan yang dimilikinya.
Minimnya tradisi menulis ilmiah di kalangan akademisi Indonesia membuat transfer pengetahuan pun lebih bersifat oral ketimbang tekstual. Akibatnya, seringkali pengetahuan tersebut cenderung bersifat konservatif, terlebih dengan adanya atmosfir feodalisme di banyak perguruan tinggi Indonesia. Dialektika pengetahuan yang tak terjadi secara tekstual, semakin terhambat secara lisan akibat arogansi senioritas.
Memang banyak juga bermunculan komunitas ilmiah, baik di dalam maupun di luar lingkungan kampus. Namun, diskusi yang terjadi di sebagian komunitas itu lebih cenderung berisi gunjingan atau obrolan kesana-kemari yang kurang produktif dalam bentuk tertulis. Heidegger menyebutnya sebagai idle talking.
Hal ini, misalnya, bisa terasa di beberapa komunitas cendekiawan berlabel Islam yang antusias dengan proyek Islamisasi Pengetahuan, sebuah usaha yang sangat patut memperoleh apresiasi. Namun proyek bercita-cita luhur ini sayangnya seringkali disarati dengan gunjingan pseudo-ilmiah yang dilakukan secara ‘utak-atik-gathuk’. Misalnya, mengkaji peristiwa Isra Mi’raj menggunakan fisika cahaya atau astronomi. Padahal, fisika maupun astronomi dalam paradigma sains jelas-jelas tidak mengakui adanya realitas lain selain realitas fisik ini. Lagi pula, perlu berapa juta tahun cahaya bagi Rasulullah saw untuk melintasi galaksi yang belum kita ketahui batasnya ini?
Solusi paling pas untuk menghindari pergunjingan di komunitas ilmiah mungkin dengan focused-group discussion. Moderator setidaknya bisa menjaga alur pembicaraan agar tidak melantur ke mana-mana, dan setiap partisipan mempunyai kesempatan berpendapat, sehingga ada pendalaman eksplorasi masalah dan diharapkan bisa lebih produktif menghasilkan tulisan-tulisan ilmiah yang bernas.
Meski demikian, manusia itu selalu berkembang dalam hidupnya. Dia tidak akan pernah bisa betah hanya dijejali dengan gunjingan, apapun bentuknya, sebagaimana dijelaskan di atas. Ibaratnya, tidak mungkin manusia hanya makan permen terus menerus, tanpa pernah mendapatkan makanan dengan asupan gizi, mineral, protein, vitamin dan lain sebagainya, yang dibutuhkan oleh tubuhnya. Oleh karena itu, dalam fase-fase tertentu dalam hidupnya, manusia akan tergerak untuk mencari hal-hal yang lebih esensial untuk memperkaya penghayatan hidupnya, meskipun arus di sekelilingnya seakan mengondisikannya untuk terus bergunjing sampai mati.
sumber:suluk blogsome
[Alfathri Adlin (Anggota Forum Studi Kebudayaan ITB, editor Jalasutra dan Pustaka Prabajati)
No comments:
Post a Comment