Powered By Blogger

Sunday, October 30, 2011

sepenggal tentang ''JALALUDDIN RUMI''


Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang

tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Rumi adalah

guru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah thariqat

yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah

sekitarnya. Thariqat Maulawiah pernah berpengaruh

besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan

kalangan seniman sekitar tahun l648.



Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan

akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Di

zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit

itu. Bagi mereka kebenaran baru dianggap benar bila

mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu

yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengan

cepat mereka ingkari dan tidak diakui.



Padahal menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah

yang dapat melemahkan Iman kepada sesuatu yang ghaib.

Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula,

kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat

mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam

agama samawi, bisa menjadi goyah.



Rumi mengatakan, "Orientasi kepada indera dalam

menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan

yang dipelopori kelompok Mu'tazilah. Mereka merupakan

para budak yang tunduk patuh kepada panca indera.

Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah.

Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak

terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula

memanjakannya."



Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena

tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum

pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan

selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah

penyembuhan yang terkandung dalam obat. "Padahal, yang

lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang

tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah

Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah

kegunaannya tersembunyi di dalamnya?" tegas Rumi.



PENGARUH TABRIZ



Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh sufi,

ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun

pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan

menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian

mencatat, ramalan Fariduddin Attar itu tidak meleset.



Rumi, Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30

September 1207. Mawlana Rumi menyandang nama lengkap

Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi.

Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya

dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal

sebagai daerah Rum (Roma).



Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah

seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena

kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia

digelari Sulthanul Ulama. Namun rupanya gelar itu

menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan

mereka pun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin

ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh

hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk

keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima

tahun. Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup

berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain.

Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut).

Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya

(Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap

di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad,

mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga

mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama

yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula

ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.



Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada

Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan

pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga

menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu.

Beliau baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut

mengajar di perguruan tersebut.



Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya

sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya

yang luas, di samping sebagai guru, beliau juga

menjadi da'i dan ahli hukum Islam. Ketika itu banyak

tokoh ulama yang berkumpul di Konya. Tak heran jika

Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul

para ulama dari berbagai penjuru dunia.



Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika beliau

sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi

adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah

yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana

seorang ulama, beliau juga memberi fatwa dan tumpuan

ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu

berubah seratus delapan puluh derajat ketika beliau

berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin

alias Syamsi dari kota Tabriz.



Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan

khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya.

Tiba-tiba seorang lelaki asing--yakni Syamsi

Tabriz--ikut bertanya, "Apa yang dimaksud dengan

riyadhah dan ilmu?" Mendengar pertanyaan seperti itu

Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat

pada sasarannya. Beliau tidak mampu menjawab.

Akhirnya Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah

bergaul beberapa saat, beliau mulai kagum kepada

Tabriz yang ternyata seorang sufi.



Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku

ayahnya itu, "Sesungguhnya, seorang guru besar

tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari

sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski

sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah

kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu

melihat kandungan ilmu yang tiada taranya."



Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan

Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk

berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan

mengembangkan emosinya, sehingga beliau menjadi

penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan

menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair, yang

himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams

Tabriz. Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya,

dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat Syams Tabriz.





Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi

baru, Syaikh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas

dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun terakhir masa

hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair

yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi.

Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700

bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran

tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk

apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain.

Bahkan Masnavi sering disebut Qur’an Persia. Karya

tulisnya yang lain adalah Ruba'iyyat (sajak empat

baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam

bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang

metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya

kepada sahabat atau pengikutnya).



Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan

Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Thariqat ini di

Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para

Darwisy yang berputar-putar). Nama itu muncul karena

para penganut thariqat ini melakukan tarian

berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling,

dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.



WAFATNYA MAWLANA RUMI



Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya.

Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya

tiba-tiba dilanda kecemasan, karena mendengar kabar

bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, tengah menderita

sakit keras. Meskipun demikian, pikiran Rumi masih

menampakkan kejernihannya.



Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo'akan,

"Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu

dengan kesembuhan." Rumi sempat menyahut, "Jika

engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan

bermakna baik. Tapi kematian ada juga yang kafir dan

pahit."



Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember

1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke

Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan,

penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan

kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai

Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para

pengikut Thariqat Maulawiyah masih memperingati

tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.



“SAMA”, Tarian Darwis yang Berputar



Suatu saat Rumi tengah tenggelam dalam kemabukannya

dalam tarian “Sama” ketika itu seorang sahabatnya

memainkan biola dan ney (seruling), beliau mengatakan,

“Seperti juga ketika salat kita berbicara dengan

Tuhan, maka dalam keadaan extase para darwis juga

berdialog dengan Tuhannya melalui cinta. Musik Sama

yang merupakan bagian salawat atas baginda Nabi

Sallallahu alaihi wasalam adalah merupakan wujud musik

cinta demi cinta Nabi saw dan pengetahuanNya.



Rumi mengatakan bahwa ada sebuah rahasia tersembunyi

dalam Musik dan Sama, dimana musik merupakan gerbang

menuju keabadian dan Sama adalah seperti electron yang

mengelilingi intinya bertawaf menuju sang Maha

Pencipta. Semasa Rumi hidup tarian “Sama” sering

dilakukan secara spontan disertai jamuan makanan dan

minuman. Rumi bersama teman darwisnya selepas solat

Isa sering melakukan tarian sama dijalan-jalan kota

Konya.



Terdapat beberapa puisi dalam Matsnawi yang memuji

Sama dan perasaan harmonis alami yang muncul dari

tarian suci ini. Dalam bab ketiga Matsnawi, Rumi

menuliskan puisi tentang kefanaan dalam Sama, “ketika

gendang ditabuh seketika itu perasaan extase merasuk

bagai buih-buih yang meleleh dari debur ombak laut”.



Tarian Sakral Sama dari tariqah Mevlevi Haqqani atau

Tariqah Mawlawiyah ini masih dilakukan saat ini di

Lefke, Cyprus Turki dibawah bimbingan Mawlana Syaikh

Nazim Adil al-Haqqani. Ajaran Sufi Mawlana Syaikh

Nazim dan mawlana Syaikh Hisyam juga merambah

keberbagai kota di Amerika maupun Eropa, sehingga

tarian Whirling Dervishes ini juga dilakukan di banyak

kota-kota di Amerika, Eropa dan Asia di bawah

bimbingan Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani.



Tarian Sama ini sebagai tiruan dari keteraturan alam

raya yang diungkap melalui perputaran planet-planet.

Perayaan Sama dari tariqah Mevlevi dilakukan dalam

situasi yang sangat sakral dan ditata dalam penataan

khusus pada abad ke tujuh belas. Perayaan ini untuk

menghormati wafatnya Rumi, suatu peristiwa yang Rumi

dambakan dan ia lukisakna dalam istilah-istilah yang

menyenangkan.



Para Anggota Tariqah Mevlevi sekarang belajar

menarikan tarian ini dengan bimbingan Mursyidnya.

Tarian ini dalam bentuknya sekarang dimulai dengan

seorang peniup suling yang memainkan Ney, seruling

kayu. Para penari masuk mengenakan pakaian putih yang

sebagai simbol kain kafan, dan jubah hitam besar

sebagai symbol alam kubur dan topi panjang merah atau

abu-abu yang menandakan batu nisan.



Akhirnya seorang Syaikh masuk paling akhir dan

menghormat para Darwish lainnya. Mereka kemudian balas

menghormati. Ketika Syaikh duduk dialas karpet merah

menyala yang menyimbolkan matahari senja merah tua

yang mengacu pada keindahan langit senja sewaktu Rumi

wafat. Syaikh mulai bersalawat untuk Rasulullah saw

yang ditulis oleh Rumi disertai iringan musik,

gendang, marawis dan seruling ney.



Peniup seruling dan penabuh gendang memulai musiknya

maka para darwis memulai dengan tiga putaran secara

perlahan yang merupakaan simbolisasi bagi tiga tahapan

yang membawa manusia menemui Tuhannya. Pada puatran

ketiga Syaikh kembali duduk dan para penari melepas

jubah hitamnya dengan gerakan yang menyimbulkan

kuburan untuk mengalami ‘ mati sebelum mati”,

kelahiran kedua.



Ketika Syaikh mengijinkan para penari menari, mereka

mulai dengan gerakan perlahan memutar seperti putaran

tawaf dan putaran planet-planet mengelilingi matahari.

Ketika tarian hamper usai maka syaikh berdiri dan

alunan musik dipercepat. Proses ini diakhiri dengan

musik penutup danpembacaan ayat suci Al-Quran.



Rombongan Penari Darwis, secara teratur menampilkan

Sama di auditorium umum di Eropa dan Amerika Serikat.

Sekalipun beberapa gerakan tarian ini pelan dan terasa

lambat tetapi para pemirsa mengatakan penampilan ini

sangat magis dan menawan. Kedalaman konsentrasi, atau

perasaan dzawq dan ketulusan para darwis menjadikan

gerakan mereka begitu menghipnotis. Pada akhir

penampilan para hadirin diminta untuk tidak bertepuk

tangan karena “Sama” adalah sebuah ritual spiritual

bukan sebuah pertunjukan seni.



Pada abad ke 17, Tariqah Mevlevi atau Mawlawiyah

dikendalikan oleh kerajaan Utsmaniyah. Meskipun

Tariqah Mawlawiyah kehilangan sebagian besar

kebebasannya ketika berada dibawah dominasi

Ustmaniyah, tetapi perlindungan Sang Raja menungkinkan

Tariqah Mawlawi menyebar luas keberbagai daerah dan

memperkenalkan kepada banyak orang tentang tatanan

musik dan tradisi puisi yang unik dan indah. Pada Abad

ke 18, Salim III seorang Sultan Utsmaniyah menjadi

anggota Tariqah Mawlawiyah dan kemudian dia

menciptakan musik untuk upacara-upacara Mawlawi.



Selama abad ke 19 , Mawlawiyah merupakan salah satu

dari sekitar Sembilan belas aliran sufi di Turtki dan

sekitar tigapuluh lima kelompok semacam itu dikerajaan

Utsmaniyah. Karena perlindungan dari raja mereka,

Mawlawi menjadi kelompok yang paling berpengarh

diseluruh kerajaan dan prestasi cultural mereka

dianggap sangat murni. Kelompok itu menjadi terkenal

di barat., Di Eropa dan Amerika pertunjukkan keliling

mereka menyita perhatian public. Selama abad 19,

sebuah panggung pertunjukkan yang didirikan di Turki

menarik perhatian banyak kelompok wisatawan Eropa yang

dating ke Turki.



Pada tahun 1925, Tariqah Mawlawi dipaksa membubarkan

diri ditanah kelahiran mereka Turki, setelah Kemal

Ataturk pendiri modernisasi Turki melarang semua

kelompok darwis lengkap dengan upacara serta

pertunjukkan mereka. Pada saat itu makam Rumi di Konya

diambil alih pemerintah dan diubah menjadi museum

Negara.



Motivasi utama Atatutrk adalah memutuskan hubungan

Turki dengan masa pertengahan guna mengintegrasikan

Turki dengan dunia modern seperti demokrasi ala barat.

Bagi Ataturk tariqah sufi menjadi ancaman bagi

modernisasi Turki. Pada saat itulah Syaikh Nazim Þ

mulai menyebarkan bimbingan spiritual dan mengajar

agama Islam di Siprus, Turki.



Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani



Banyak murid yang mendatangi Mawlana Syaikh Nazim dan

menerima Thariqat Naqsybandi Haqqani. Selain itu

beliau adalah pemegang otoritas Mursyid tujuh Tariqah

Sufi besar lainnya, termasuk Mevlevi Haqqani atau

Mawlawiyah, Qodiriah, Syadziliyah, Chisty. Namun

sayang, waktu itu semua agama dilarang di Turki dan

karena beliau berada di dalam komunitas orang-orang

Turki di Siprus, agama pun dilarang di sana. Bahkan

mengumandangkan azan pun tak diperbolehkan.



Langkah Syaikh Nazim yang pertama ketika itu adalah

menuju masjid di tempat kelahirannya dan

mengumandangkan azan di sana, segera beliau dimasukkan

penjara selama seminggu. Begitu dibebaskan, Syaikh

Nazim Þ pergi menuju masjid besar di Nikosia dan

melakukan azan di menaranya. Hal itu membuat para

pejabat marah dan beliau dituntut atas pelanggaran

hukum.



Sambil menunggu sidang, Syaikh Nazim Þ terus

mengumandangkan azan di menara-menara masjid di

seluruh Nikosia. Sehingga tuntutannya pun terus

bertambah, ada 114 kasus yang menunggu beliau.

Pengacara menasihati beliau agar berhenti melakukan

azan, namun Syaikh Nazim Þ mengatakan, “ Tidak, aku

tidak bisa mengehntikannya. Orang-orang harus

mendengar panggilan azan untuk shalat.”



Ketika hari persidangan tiba, Mawlana Syaikh Nazim

didakwa atas 114 kasus mngumandangkan azan diseluruh

Cyprus. Jika tuntutan 114 kasus itu terbukti, maka

beliau bisa dihukum 100 tahun penjara. Tetapi pada

hari yang sama hasil pemilu diumumkan di Turki.

Seorang laki-laki bernama Adnan Menderes dicalonkan

untuk berkuasa. Langkah pertamanya ketika terpilih

menjadi Presiden adalah membuka seluruh masjid-masjid

dan mengizinkan azan dikumandangkan dalam bahasa Arab.

Inilah keajaiban yang diberikan Allah swt kepada

Mawlana Syaikh Nazim.



Hingga saat ini makam Rumi di Konya tetap terpelihara

dan dikelola oleh pemerintah Turki sebagai tempat

wisata. Meskipun demikian pengunjung yang datang

kesana yang terbanyak adalah para peziarah dan bukan

wisatawan. Melalui sebuah kesepakatan pemerintah

Turki, pada tahun 1953 akhirnya menyetujui tarian

“Sama” Tariqah Mawlawi dipeertontonkan lagi di Konya

dengan syarat pertunjukan tersebut bersifat cultural

untuk para wisatawan.



Rombongan Darwis juga diijinkan untuk berkelana secara

Internasional. Meskipun demikian secara keseluruhan

berbagai aspek sufisme tetap menjadi praktek yang

illegal di Turki dan para sufi banyak diburu sejak

Ataturk melarang agama mereka.

No comments:

Post a Comment