Oleh Herry Mardian
ANDA pernah jatuh cinta? Pernah melihat atau sekedar berkenalan pada seseorang, lalu anda mulai tertarik dengannya? Awalnya mungkin ada sebuah ‘rasa’ terhadapnya. Lalu anda mulai sering memikirkannya. Banyak hal yang dilakukannya membuat anda tertarik, walaupun mungkin tidak setiap saat kita berinteraksi dengannya. Ketika dia ramah dan tersenyum pada kita satu atau dua detik, atau sekedar berkata “Halo, apa kabar?” sambil tersenyum, pikiran kita mulai berpersepsi.
“Wah, ramah sekali. Kayaknya baik ya. Boljug nih, jadi pasangan… ” dan seterusnya.
Ketika anda sedang lelah, lalu teringat lagi padanya, kemudian muncul rasa ingin bertemu dengannya. Kita mulai berimajinasi. “Kayaknya enak kalau lagi capek begini ngobrol dengannya. Pasti kebaikannya bisa membuat saya terhibur. Kalau curhat pasti dia mau dengerin deh.”
Ketika kita melihat dia ramah pada anak-anak, maka pikiran kita berpersepsi lain lagi. “Wah, betapa dia seorang ibu/ayah yang ideal.”
Ketika kita sudah mulai berinteraksi satu-dua kali, ternyata tutur katanya ramah, santun, dan sebagainya. Pikiran kita mengambil indikator ini, “Ternyata orangnya baik. Enak diajak ngobrol. Pemikiran kita nyambung. Udah gitu humoris pula.” Ditambah lagi dengan data dari teman-teman kita, katanya dia orang baik, humoris, bertanggung jawab dan sebagainya.
Lalu dia mulai sering ada di pikiran kita. Sosok dia, dalam pikiran kita, kini sudah menjadi imajinasi satu kepribadian manusia yang utuh: orangnya baik, cantik/ganteng, ramah, cerdas, humoris, bertanggung jawab, dan seorang suami atau istri yang ideal. Sepotong senyum atau interaksi satu-dua kali, sudah cukup untuk membuat mekanisme kecerdasan kita membentuk satu sosok kepribadian yang utuh di dalam imajinasi kita. Dan sekarang, dengan adanya sosok yang utuh di dalam pikiran kita ini, kita mulai benar-benar jatuh cinta kepadanya. Ingat terus, kalau ditelepon atau ketemu merasa senang sekali, dan seterusnya, dan seterusnya.
Indikator-indikator kepribadian yang tadinya disimpan di kepala kita sebagai data, dengan kemampuan persepsi otak kita diolah menjadi suatu sosok yang utuh, dan akhirnya kita jatuh cinta dengan sosok ini. Indah sekali kan?
Pada tahap ini, kenapa kita bisa jatuh cinta hanya dengan satu senyum, atau satu-dua kali interaksi? Imajinasi. Itulah keunggulan mekanisme pikiran kita. Kita dibekali kemampuan berimajinasi tentang sesuatu, sehingga dari data yang sedikit bisa dipersepsikan, atau diimajinasikan, bagaimana sosok kepribadian orang itu dengan utuh.
Lalu semakin lama anda berinteraksi dengannya, mulai nampak pula hal-hal yang tidak terlalu kita sukai dari dirinya. Kita mulai menimbang-nimbang, berfikir positif atau negatif mengenai dirinya. Cinta kita sudah mulai memasuki tahap cinta rasional, bukan hanya cinta emosional. Rasa cinta tidak lagi demikian terasa dahsyat dan menggebu-gebu di dalam dada kita. Sekarang kita mulai ‘mendapatkan pengalaman’ (meng-experience) interaksi dengan dia yang sebenarnya.
Pada tahap ini, bisa jadi kita malah sebal, atau ternyata berkesimpulan tidak cocok dengannya. Atau jika kebetulan kita sampai di jenjang pernikahan, setelah sepuluh tahun menikah, misalnya, cinta kita tidak lagi terasa demikian emosional dan menyenangkan seperti ketika awal bertemu. Pada tahap ini, cinta kita sudah mulai menjadi cinta yang rasional dan dewasa. Diwarnai oleh tanggung jawab, peran sosial, kewajiban, pemakluman, dan lain sebagainya. Intinya, kini belum tentu ‘semuanya indah sekali’ seperti dulu.
Lalu kenapa dulu rasa cinta itu bisa terasa demikian menyenangkan dan ‘dahsyat’ terasa di dalam dada? Sekali lagi, imajinasi. Dulu, sebenarnya kita jatuh cinta bukan pada dia, tapi jatuh cinta kepada ‘imajinasi kita tentang dia’. Kita jatuh cinta pada sosok dia yang ada di pikiran kita, bukan pada dia yang sebenarnya. Kini, setelah lama berinteraksi dengannya, kita mulai mengenal dia yang asli, bukan hanya imajinasinya. Dia yang asli, dengan ‘imajinasi kita tentang dia’ tentu berbeda.
Dia yang asli bisa kita kenali dengan interaksi dengannya, dan bukan melalui ‘imajinasi’ kita tentang dia.
Demikian juga dengan mengenal Tuhan. Sebenarnya, tidak cukup untuk mengenal Dia hanya dengan indikator sifat yang diperoleh ‘kata teman’, menurut buku, kata ustad, dan sebagainya. Kita selama ini hanya mendapatkan data tentang Dia dengan ‘katanya’. Kalau kita jujur pada diri kita sendiri, tanyakanlah: siapa Tuhan yang kita mengaku mencintai-Nya itu? Siapa yang kita sembah itu? Jawablah dengan jujur: kita benar-benar mencintai-Nya, atau baru mencintai imajinasi kita tentang diri-Nya, yang terbentuk di kepala kita?
Sudahkah kita mengenal Dia yang sebenarnya, dan bukan sosok Dia yang dalam imajinasi kita itu? Siapa yang kita sembah? Dia yang asli, atau Dia yang imajinasi kita? Padahal Tuhan tidak menerima penyembahan selain kepada Dia. Dia yang asli.
Seseorang yang memasuki disiplin sufi, sebenarnya adalah mereka yang ingin mengenal Dia secara real dan bukan imajinasi pikiran saja, bukan ‘kata orang’, justru karena tidak ingin jatuh pada kemusyrikan dengan terpeleset menyembah ‘Tuhan yang imajinasi’. Mereka ingin meng-experience pengenalan terhadap Tuhan yang sebenarnya (tentunya dengan sangat tidak mudah, karena Tuhan adalah sesuatu yang Maha Tinggi). Walaupun ini sangat sulit, tapi sebagian orang berusaha –berjihad– dengan segenap dirinya untuk menjalankan disiplin ini.
Dan karena pintu mengenal Tuhan adalah kesucian qalbu, maka mustahil pula orang yang mengaku menjalankan disiplin ini tanpa menjalankan syariat yang telah ditetapkan Qur’an dan Rasulullah saw. Kalau ada ‘sufi’ (dalam tanda kutip) yang tidak shalat atau puasa, misalnya, sudah jelas dia hanya ‘mengaku-aku’ saja sedang menjalankan disiplin tasawuf. Mustahil qalbu bisa menjadi suci tanpa syari’at. Rasulullah adalah gerbang menuju Allah, maka setelah periode kenabian Muhammad s.a.w., tidak akan ada yang bisa mengenal Dia tanpa melalui Beliau dan apa yang Beliau bawa, termasuk syariat dan hakikatnya.
Maka sebagai panduan pertama kali (atau tepatnya: panduan mutlak sepanjang jalan), tentu melalui apa yang Beliau bawa: Al-Qur’an. Tapi, itu pun bukan makna Al-Qur’an yang ‘dipersepsikan’, melainkan makna Al-Qur’an yang sesungguhnya, yang ‘apa adanya’. Itulah sebabnya, di awal perjalanan untuk mengenal Allah kita terlebih dahulu harus mencari orang-orang yang sudah mampu menjangkau makna Al-Qur’an yang sesungguhnya, untuk mengajarkannya pada kita.
“Bagaimana jika sudah ma’rifat? Apakah syariat tidak lagi diperlukan? Maka shalat, puasa dan lain-lain tidak perlu lagi dong.. ” Nah, ini juga sebuah kesalahan umum yang sangat mendasar. Ma’rifat bukan akhir perjalanan. Ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah proses akhir, bukan titik akhir. Perhatikan: proses, bukan titik. Dan semua orang yang benar-benar menjalankan disiplin tasawuf ini tahu, proses akhir ini adalah sebuah proses yang tidak akan pernah berakhir, karena Tuhan adalah Maha Tak Terbatas. Proses mengenal sesuatu yang tak terbatas akan berlangsung selama jangka waktu yang tak terbatas pula. Rasulullah, sebagai manusia yang paling mengenal Allah (paling ma’rifatullah) pun tidak pernah berhenti shalat.
Hanya bedanya dengan berinteraksi dengan manusia, kalau semakin mengenal manusia kita akan semakin mengenal kekurangannya pula, tapi jika dengan Tuhan, semakin berinteraksi dengan Tuhan, Karena Dia Maha Indah, maka semakin mengenal-Nya pun akan semakin jatuh cinta dan semakin jatuh cinta saja. Tapi bedanya, bukan cinta yang di-indoktrinasi ke kepala kita sendiri: “Saya mencintai Tuhan!! Alangkah indahnya Tuhan!!” dan semacamnya. Kecintaan pada tahap ini adalah sebuah ungkapan hati yang jujur. Sebuah cinta yang ‘dialami’, bukan cinta yang diindoktrinasikan ke kepala.
Mereka yang mengenal Allah, saking takjub dan terpesonanya dengan keindahan Dia, akan ‘mabuk’. Beberapa wali menjadi ‘romantis’, kemana-mana berpuisi tentang cinta dan rindu kepada-Nya dalam ke’mabuk’annya, seperti puisi-puisi Jalaluddin Rumi, Rabi’ah, dan lain-lain. Rumi sering mengumpamakan ke’mabuk’annya ini dengan anggur, atau ‘terbakar’ dalam cinta. Ia ‘hilang’ ditelan cinta kepada-Nya. As if they’re ‘mad’ for Allah, externally and internally.
Mengapa para Nabi, terutama Rasulullah saw., dalam hal ini lebih utama dari para wali? Karena meski cinta dan pengenalan Rasulullah terhadap Allah lebih tinggi daripada Nabi atau wali yang manapun, namun Beliau tetap sanggup menguasai dirinya, dan tidak ‘mabuk’. Beliau tetap bisa tampil seperti manusia biasa, dan tampak tidak tenggelam dalam mabuk cinta kepada-Nya. Externally sane while ‘madly in love’ internally, for Allah. Ini sebuah kualitas manusia yang ‘tidak manusiawi’, saking tingginya tingkat penguasaan dirinya.
Kembali ke persoalan.
Ma’rifat adalah proses akhir, dan justru menjadi awal beragama secara sejati. Inilah makna dari perkataan yang masyhur dari salah seorang sahabat Rasul Ali r.a.: “Awaluddiina Ma’rifatullah”. Awalnya Ad-Diin adalah mengenal Allah. Makrifat justru baru awalnya beragama, bukan tujuan. Karena dengan mengenal Dia yang sebenarnya, barulah seseorang berinteraksi dengan Ad-Diin yang sebenarnya pula. Jika seseorang hanya mengenal imajinasi dirinya sendiri tentang Allah, seharusnya perlu dipertanyakan apakah kita benar-benar berjalan di atas Diin (agama)? Atau kita hanya ‘berimajinasi’ tentang ad-Diin itu?
Demikian pula, seseorang belum bisa dikatakan sebagai seorang salik (pejalan, pencari Tuhan, pencari kebenaran hakiki/Al-Haqq) atau sedang menjalankan disiplin tasawuf, jika hanya membaca buku-buku tentang tasawuf dan sufi, atau menghadiri pertemuan dan ceramah tasawuf. Inti disiplin tasawuf dalam beragama adalah ‘mengalami’, experiencing, dan bukan ‘data tentang sufi’ atau persoalan agama. Dalam kacamata hakikat, seseorang belum berjalan di atas ad-diin jika semata-mata hanya ‘tahu banyak tentang ad-diin‘ dan dalil-dalinya tapi tidak menjalani, mengamalkan, atau meng-experience esensi maupun makna ad-diin.
Seberapa jauh bedanya? Sejauh beda antara ‘jatuh cinta’ dengan ‘membaca deskripsi tentang cinta’.
Semoga bermanfaat.
–Herry Mardian–
No comments:
Post a Comment