Powered By Blogger

Saturday, June 5, 2010

ALFARABI tentang politik



ALFARABI

Muqaddimah

Masa di mana filsafat mulai tumbuh dan berkembang di dunia kaum muslim, di tahun 870 M Abu Nashr Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Al-Uzalagh Al-Farabi, dilahirkan pada sebuah distrik di Farab (sekarang dikenal dengan sebutan Atrar) bernama Wasij, Transoxiania (tepatnya di Turkistan). Lebih dikenal sebagai al-Farabi di dunia Islam, sedang di kalangan orang-orang Latin Abad Pertengahan di kenal sebagai Abu Nashr. Al-Farabi wafat pada tahun 950 M di Damaskus, Suriah, pada usia 80 tahun.

Pada masa hidupnya, kekuatan politik Islam yang berkuasa sama sekali tidak bersifat homogen. Dinasti Abasiyah di Bagdad secara politis telah jauh dari masa kejayaannya, meski dalam hal pendidikan Bagdad masih menjadi salah satu kota rujukan untuk memperdalam ilmu. Di tahun-tahun kepemimpinan al-Mu’tadid (892-902), al-Farabi dan guru logikanya ketika di Marw[1], Yuhanna Ibn Hailan, pergi ke Bagdad. Di tempat kelahirannya sendiri, Transoxiania, Dinasti Samaniyah menjadi negara yang sah pada masa kepemimpinan Ismail Ibn Ahmad (892-907 M) dan menjadikan Bukhara sebagai pusat pemerintahannya. Bukhara kemudian menjadi salah satu pusat ilmu dan kesusastraan di masa kepemimpinan khalifah keempat, Nasr Ibn Ahmad atau Nasr II (914-943 M). Pada kurun waktu ini hingga invansi tentara Mongol di Abad 12, Bagdad masih menjadi pusat politik Islam meski sekedar menjadi negara boneka demi kepentingan para pemimpin lokal yang sebelumnya dikuasai. Kondisi politik, seperti inilah yang agaknya berpengaruh besar pada pemikiran politik al-Farabi.

Sekitar tahun 908 M, al-Farabi meninggalkan Bagdad menuju Konstantinopel[2]untuk mempelajari seluruh silabus Filsafat.

Setelah cukup lama menetap di Konstantinopel, al-Farabi tidak menuju Bukhara yang mulai menjadi pusat pendidikan baru dunia Islam. Ia kembali ke Bagdad, dan selama 20 tahun menetap di kota ini. Masa-masa ini, seperti yang dikatakan Antony Black,[3] al-Farabi banyak membahas masalah politik, seperti dalam dua kitabnya Ihsha al-Umum dan Tahshil al-Sa’adah.

Ketika terjadi pergolakan di Bagdad pada tahun 942,[4] yang didalangi al-Baridi, al-Farabi meninggalkan kota ini. Atas udangan Saif al-Daulah, penguasa Allepo dari dinasti Hamdaniyah, akhirnya al-Farabi menetap di Damaskus. Di kota inilah karyanya al-Madinah al-Fadhilah selesai dikerjakan.

Selain kitab ini, di masa produktifnya sebagai intelektual, al-Farabi juga berhasil menulis al-Siyasah al-Madaniyah, Fushul al-Madani, Tahshil al-Sa’adah, dan masih banyak lagi kitab dalam bidang keilmuan yang berbeda-beda, termasuk Fushus al-Hikam yang khas dengan corak esoterisme dan sufistiknya.

Untuk dapat melihat corak pemikiran politik al-Farabi dalam tulisan ini akan dibahas dua sintesis konsep pemikiran politiknya. Al-Madinah al-Fadhilah dan konsep demokrasi dalam filsafat politik al-Farabi. Dua hal yang sebenarnya telah banyak dibahas oleh penulis lain, bahkan dalam bukunya Antara al-Farobi dan Khomeini, Yamani dalam upayanya merajut hubungan pemikiran politik al-Farobi dan Ayatullah Khomeini secara khusus membahas dua hal ini masing-masing dalam bab tersendiri. Mungkin tidak ada yang baru yang menjadi gagasan tulisan ini, namun penulis berharap tulisan ini dapat menjadi tambahan bagi para pembaca untuk dapat melihat corak pemikiran al-Farabi. Paling tidak pembaca dari tulisan ini dapat memetakan posisi al-Farabi dan pemikirannya dalam wilayah pemikiran politik Islam.

Kota Utama (al-Madinah al-Fadhilah)[5]

Pada lingkupnya yang lebih khusus tentang kota ini, al-Farabi sebenarnya memformulasikan gagasan kota idealnya dengan bertumpu pada dua konsep utama. Pertama, konsep tentang pemimpin dan yang dipimpin, atau konsep kepemimpinan. Kedua, konsep kebahagiaan. Penjelasan awal bab khusus tentang al-madinah al-fadilah-nya dalam kitabnya As-Siyasah al-Madaniyah cukup memberikan ketegasan perihal hal ini, bahwa manusia hidup memerlukan seorang guide (pemimpin, mualim) untuk menemukan kebahagiaan mereka.[6] Dengan begitu, kerangka dasar yang membangun gagasan al-Madinah al-Fadilah berangkat dari konsep kepemimpinan, di mana untuk dapat membentuk sebuah kota yang sedemikian rupa harus mucul seorang pemimpin yang memiliki keutamaan penuh. Yamani menyebut pemimpin macam ini sebagai pemimpin tertinggi atau unqualified ruler, penguasa tanpa kualifikasi (Yamani, 2002). Yang kemudian dari konsep ini (kepemimpinan) al-Farabi melilitkan konsep kebahagiaan padanya. Bahwa tujuan manusia menjalani hidupnya adalah untuk meraih kebahagiaan.

Dan untuk menghidupkan dua konsep utama ini, al-Farabi memasukkan prasyarat-prasyarat perihal hal ini. Bagaimana misalnya kecenderungan manusia. Bahwa manusia akan selalu mencoba mengarahkan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan. Selain itu, manusia juga memiliki kecenderungan lain berupa keterikatan mereka dalam sebuah komunitas, seperti yang dikatakan Aristoteles bahwa manusia adalah Zoon Politikon,[7] secara alamiah mereka tidak akan lepas dari kehidupan sosial dan oleh karena itu mereka terus berpolitik untuk bertahan hidup. Agar komunitas ini dapat menjadi sebuah komunitas unggul diperlukanlah seorang pemimpin yang memiliki keutamaan.

Mengenai kepemimpinan. Al-Farabi mengkategorikan orang menjadi tiga (Yamani, 2002, hal. 61), pemimpin tertinggi, orang yang memimpin dan dipimpin, dan orang yang sepenuhnya dipimpin. Dan kota utama dipimpin oleh seorang pemimpin tertinggi. Pemimpin macam itu adalah orang yang sempurna secara fisik dan mentalnya (Yamani, 2002, hal. 62). Dalam konsep Sunni derajat pemimpin semacam ini hanya dapat dimiliki oleh seseorang dengan tingkatan Nabi.[8] Meski dalam sejarahnya, kehidupan politik para Nabi pun pada umumnya mengalami sebuah kondisi yang dapat dikatakan dilematis, bahkan hampir semuanya tidak pernah berhasil membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal dan dengan kecenderungan memiliki umat yang durhaka. Sampai pada Nabi terakhir, Muhammad SAW, konsep kepemimpinan itu seperti baru menemukan bentuknya. Dengan keberhasilan Muhammad SAW menyatukan masyarakat Arab, agaknya dapat disebut bahwa apa yang Muhammad SAW bentuk adalah sebuah kota utama di bawah kepemimpinannya. Dengan begitu pada dasarnya setiap Nabi memiliki potensi yang sama untuk membangun sebuah kota ideal, dengan kualitas yang mereka miliki. Dan sekali lagi, satu-satunya Nabi yang berhasil mengaktualkan potensi itu adalah Muhammad SAW.

Sedang dalam pandangan Syiah, kualitas pemimpin yang dapat membentuk sebuah kota utama, tidak hanya pada level para Nabi tetapi juga Imam-imam, yang meski dalam sejarah belum terbukti bahwa ada seorang Imam yang dapat membentuk sebuah kota utama. Namun, pada kepercayaan mereka, kota utama itu pada masanya nanti akan dapat dibentuk oleh Imam Mahdi (Muhammad al-Mahdi al-Muntazar, Imam terakhir mereka).

Menurut al-Farabi, ketika sebuah kota utama terbentuk, tugas para pemimpin ini adalah mengatur jalannya aktivitas penduduknya agar tetap pada kapasitas masing-masing. Agar asosiasi yang tercipta pun berjalan harmonis. Dengan begitu dalam sebuah kota utama, spesialisasi penduduknya memang harus ada dan seorang pemimpin harus dapat mengatur ini dengan baik.

Tujuan kota utama adalah kebahagiaan. Baik secara individual maupun komunal, kota utama harus memberikan kebahagiaan bagi penghuninya. Pemimpin dalam kota ini memiliki tugas untuk membimbing dan menunjukkan warganya pada kebahagiaan itu.

Kota Demokratis

Kota demokratis dalam pemikiran politik al-Farabi nampaknya adalah sebuah alternatif untuk terwujudnya sebuah kota utama. Model kota utama yang terlalu idealistik, dan juga mensyaratkan adanya seorang pemimpin yang sempurna, karena pemimpin yang sempurnalah yang mampu menujukkan dan mengarahkan yang dipimpinnya pada kebahagiaan, yang tentu akan sulit sekali ditemukan sosoknya. Sedangkan manusia membutuhkan sebuah institusi negara untuk dapat menjalani hidup mereka. Oleh karena itu muncul opsi kota demokratis, di mana seperti yang dikatakan al-Farabi dalam al-Siyasah al-Madaniyah bahwa kota ini akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang diidealkan, paling tidak memiliki peluang lain yang lebih besar daripada kota-kota dengan model lainnya.

“Sangatlah mungkin bahwa lama-kelamaan orang-orang utama akan bermunculan di kota itu. Yakni filosof, ahli retorika, dan penyair, yang menggeluti berbagai hal. Ada kemungkinan pula untuk mengumpulkan, sedikit demi sedikit dari kota itu (orang-orang) tertentu (yang membentuk) bagian dari kota utama itu. Inilah hal terbaik yang terjadi di kota seperti itu.”[9]

Kota demokrasi sendiri adalah kota di mana penduduknya memiliki kebebasan dan keleluasaan untuk melakukan apa yang diinginkannya.

Dan untuk membentuk kota utama, sebagaimana disinggung di atas karena sulitnya mewujudkan kota utama secara langsung, maka cara yang paling efektif adalah dengan terlebih dahulu membentuk kota demokratis yang memiliki kebaikan dan keburukan yang berjalan beriringan.

Penutup

Idealisme kesempurnaan kota yang digagas al-Farabi pertama kali harus dipahami secara konseptual, kembali pada ide itu sendiri atau pada tataran teoritis. Kedua, untuk mengerti maksud al-Farabi, pembaca juga harus menyadari bahwa yang namanya konsep (ideal), bagaimanapun akan sempurna pada tataran gagasannya, namun ketika diturunkan pada wilayah praktis, yang namanya sebuah reduksi akan selalu muncul, bagaimanapun canggihnya sebuah konsep. Mungkin, konsep yang digagas al-Farabi secara sempurna belum pernah ada dalam perkembangan peradaban manusia di dunia ini. Namun, pola kehidupan politik yang digambarkan al-Farabi telah kita temukan-sekali lagi meski tidak sesempurna yang digambarkannya-pada pemerintahan yang dipimpin Muhammad SAW. Di mana legitimasi kekuasaan didapat dari Tuhan, dan diterapkan berdasarkan keadilan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Selain itu juga, model pemerintahan yang sekarang ini paling dekat dengan konsep al-Madinah al-Fadilah al-Farabi dapat kita temui pada konsep Teo-demokrasi yang kini telah dijalankan di Iran. Dengan konsep wilayatul fakih dan demokrasi, tujuan kebahagiaan itu hendak diraih.

Daftar Pustaka

Al-Farabi, as-Siyasah al-Madaniyah, Dar wa Maktabah al-Hilal

Antony Black, Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Serambi, 2006

Joseph Losco dan Leonard William, Political Theory; Kajian Klasik dan Kontemporer, ter. Haris Munandar, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005

Yamani, Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, Bandung: Mizan, 2002

No comments:

Post a Comment