CARA RADEN SYAHID MENCARI GURU SEJATI
Di antara para wali yang lain, Kanjeng Sunan Kalijaga bisa dikatakan satu-satunya wali yang menggunakan pendekatan yang pas yaitu budaya Jawa. Dia sadar, tidak mungkin menggunakan budaya lain untuk menyampaikan ajaran sangkan paraning dumadi secara tepat. Budaya arab tidak cocok diterapkan di Jawa karena manusia Jawa sudah hidup sekian ratus tahun dengan budayanya yang sudah mendarah daging. Bahkan, setelah “dilantik” menjadi wali, dia mengganti jubahnya dengan pakaian Jawa memakai blangkon atau udeng.
Nama mudanya Raden Syahid, putra adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta dan Dewi Nawangrum. Kadpiaten Tuban sebagaimana Kadipaten yang lain harus tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Nama lain Tumenggung Wilatikta adalah Ario Tejo IV, keturunan Ario Tejo III, II dan I. Arti Tejo I adalah putra Ario Adikoro atau Ronggolawe, salah seorang pendiri Kerajaan Majapahit. Jadi bila ditarik dari silsilah ini, Raden Syahid sebenarnya adalah anak turun pendiri kerajaan Majapahit.
Raden Syahid lahir di Tuban saat Majapahit mengalami kemunduran karena kebijakan yang salah kaprah, pajak dan upeti dari masing-masing kadipaten yang harus disetor ke Kerajaan Majapahit sangat besar sehingga membuat miskin rakyat jelata. Suatu ketika, Tuban dilanda kemarau panjang, rakyat hidup semakin sengsara hingga suatu hari Raden Syahid bertanya ke ayahnya: “Bapa, kenapa rakyat kadipaten Tuban semakin sengsara ini dibuat lebih menderita oleh Majapahit?”. Sang ayah tentu saja diam sambil membenarkan pertanyaan anaknya yang kritis ini.
Wednesday, June 29, 2011
Wednesday, June 15, 2011
C I N T A RABIAH AL-ADAWIYAH
Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah al-Adawiyah al-Bashriyah dan bertanya, “Saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun meleblhl gunung-gunung. Andaikata saya bertobat, apakah Allah akan menerima tobat saya?” “Tidak,” jawab Rabiah dengan suara sangar. Pada kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu berkata, “Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya.
Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun yang besar. T etapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima tobat saya?” “Pasti,” jawab Rabiah dengan tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan tldak berkenan menerlma tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani tobat? Untuk berhenti darl dosa, jangan simpan kata “akan atau “andaikata” sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.”
Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun yang besar. T etapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima tobat saya?” “Pasti,” jawab Rabiah dengan tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan tldak berkenan menerlma tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani tobat? Untuk berhenti darl dosa, jangan simpan kata “akan atau “andaikata” sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.”
Saturday, June 11, 2011
Ali r.a
Satu kisah yang sungguh luar biasa tentang Ali r.a. yang barangkali belum pernah kita dengar sebelumnya. Diambil dari sebuah buku, Questions of Life, Answers of Wisdom, petikan diskusi antara seorang guru sufi asal Srilanka, Bawa Muhaiyaddeen, dengan salah seorang muridnya.
ABOUL’ALA: Ada sebuah riwayat tentang Ali r.a. di masa ia menjadi seorang khalifah dan Allah telah menganugrahkan kepadanya pengetahuan tentang sirr. Suatu hari ketika berjalan bersama sahabatnya, ia melihat seseorang. Lalu Ali r.a. pun berkata, “Orang itu yang nanti akan membunuhku.” Sahabatnya terperanjat, “Ya Khalifah Rasulullah, mengapa tak kau tangkap dia dan penjarakan dia?” Ali r.a. menjawab, “Bila kutangkap dia, lalu siapa nanti yang akan membunuhku?” Dia tahu bahwa orang itu akan membunuhnya, namun ia membiarkannya. “Siapa lagi yang nanti akan melakukannya,” ujarnya. Bagaimana keberserahan diri kepada Allah yang seperti ini dapat sejalan dengan penjelasan Bawa tentang al-qada’ wal-qadar?
ABOUL’ALA: Ada sebuah riwayat tentang Ali r.a. di masa ia menjadi seorang khalifah dan Allah telah menganugrahkan kepadanya pengetahuan tentang sirr. Suatu hari ketika berjalan bersama sahabatnya, ia melihat seseorang. Lalu Ali r.a. pun berkata, “Orang itu yang nanti akan membunuhku.” Sahabatnya terperanjat, “Ya Khalifah Rasulullah, mengapa tak kau tangkap dia dan penjarakan dia?” Ali r.a. menjawab, “Bila kutangkap dia, lalu siapa nanti yang akan membunuhku?” Dia tahu bahwa orang itu akan membunuhnya, namun ia membiarkannya. “Siapa lagi yang nanti akan melakukannya,” ujarnya. Bagaimana keberserahan diri kepada Allah yang seperti ini dapat sejalan dengan penjelasan Bawa tentang al-qada’ wal-qadar?
Thursday, June 9, 2011
Imam An nifari, makna islam
Allah berseru kepada hamba-Nya:
“Hendaklah engkau menyerah kepada-Ku dengan sepenuh hatimu, dan menyerah kepada perantara-perantara dengan tubuhmu, supaya engkau bersama-Ku dengan kemauan kerasmu, dan bersama selain-Ku dengan akal budimu.
Maka engkau senantiasa menghimpun kemauan kerasmu atas-Ku, tiada bagian bagi selain-Ku terhadap dirimu melainkan hanya kehadiranmu bersamanya, dengan akal budimu saja.
Maka janganlah engkau bersuka ria atas karunia yang dianugerahkan-Nya kepadamu, dan jangan mudah marah kepada orang yang menyakiti hatimu. Jangan pula bermegah karena kejayaanmu, dan menepuk dada menyombongkan ilmu pengetahuanmu.
Subscribe to:
Posts (Atom)